Oleh Agus Maftuh Abegabriel
Duta Besar Indonesia untuk Saudi Arabia dan OKI, Alumni Futuhiyyah
Ketika menyampaikan presentasi dalam diskusi publik yang diadakan Depkominfo dan Gerakan Pemuda (GP) Ansor Provinsi Banten di Hotel Le Dian pada 12 September 2009, penulis kaget dengan tulisan di backdrop ”Jihad dan Terorisme; Menebar Nilai Islam Damai untuk Keselamatan Bangsa.”
Judul itu begitu indah sebagai kontribusi untuk menapaki Indonesia ke depan. Namun, dalam forum tersebut, penulis sedikit memberikan koreksi terhadap diksi judul Jihad dan Terorisme karena kedua istilah itu sangat paradoks dan kontradiktif (santri menyebut dengan istilah ikhtilâf al-tadlâd, sebuah perbedaan yang kontradiktif) sehingga tidak bisa ditempatkan dalam grade yang sama. Penulis mengusulkan judul dalam backdrop tersebut harus dibaca sebagai Jihad Menghajar Terorisme.
Hal itu sangatlah beralasan karena realitasnya, grand program jihad adalah bertujuan membuat orang bisa hidup dalam kedamaian antarsesama komunitas bumi. Sedangkan terorisme hanya bisa menebar embrio permusuhan dan bahkan karya-karya kekerasan di muka bumi ini dengan mengatasnamakan membela kepentingan Tuhan dan Rasul-Nya. Tragisnya lagi, pentas Dying for Win atau al-Intikhâriyyah (bom bunuh diri) selalu mereka pentaskan dalam orkestra Demi Membela Ayat Tuhan meski berakibat kepada robeknya nilai-nilai kemanusiaan.
Acara di Banten tersebut semakin menarik bagi penulis karena Banten adalah nama kota yang begitu besar kontribusinya dalam sejarah Epistemological Experiences atau proses yang penulis lalui dalam mempelajari ilmu-ilmu agama ketika di pesantren. Semua ulama Nusantara sangatlah berutang budi terhadap kota yang memproduksi seorang ulama besar dengan level internasional, yaitu Syeikh Nawawi bin Umar bin Arabi al-Bantanî Al-jawî.
Ulama yang lahir pada 1813 M dan meninggal pada 1897 M itu telah menorehkan tinta emasnya sebanyak 115 karya. Yang paling monumental adalah Tafsir al-Munîr yang merupakan eksplorasi penafsiran Alquran sebanyak dua jilid dan merupakan referensi wajib di kalangan para akademisi internasional yang intensif dalam studi tafsir Alquran (Quranic Exegeses). Syeikh Nawawi yang juga guru pendiri NU KH Hasyim Asy’ari dan juga KH Kholil Bangkalan tersebut telah mencurahkan umurnya untuk memberikan fresh information kepada para santri yang tidak hanya lokal Indonesia, tetapi juga para santri internasional.
Perlu penulis tegaskan bahwa para santri yang mempelajari karya-karya Syeikh Nawawi itu tidak pernah bergesekan atau bahkan terlibat dalam proyek ”Pengembangbiakan Teroris”. Sebab, karya-karya Syeikh Nawawi dari tafsir, tauhid, fiqih, sejarah, sampai tasawuf tidak pernah mengajarkan ideologi kekerasan. Ketika ada analis yang mengaitkan Ideology of Violence tersebut dengan pesantren, maka penulis menolak analisis tersebut karena sangat jauh dari binyawiyyah (struktur berpikir) model pesantren.
Banten akan tetap menjadi saksi al-Syawâhid al-târîkhiyyah atau bukti-bukti kesejarahan putra terbaiknya, yaitu Syeikh Nawawi al-Bantanî, yang berhasil mengawali langkah ”globalisasi” meski pada 1800-an istilah itu belum muncul. Nama besar ulama yang punya titel Sayyidu Ulamâ al-Hijâz (Pemimpin Ulama Hijaz/Arab Saudi) tersebut tidak akan pernah terkotori oleh ulah putra Banten yang bernama Imam Samudera, yang telah melakukan tindakan kekerasan dengan memanipulasi ayat-ayat Tuhan dan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW.
Imam Samudera dan juga para teroris lainnya tidak pernah belajar dari karya-karya emas Syeikh Nawawi al-Bantani yang selalu mengajarkan ”Islam Teduh”, tetapi para ekstremis itu hanya belajar dari sebuah buku saku yang berisi ”petunjuk suci” untuk menebarkan teror di muka bumi. Buku tersebut berjudul Al-Farîdlah al-Ghâ’ibah (Kewajiban Jihad yang Terabaikan) setebal 54 halaman karya ekstremis Mesir Abdussalam Faraj.
Meski Syeikh al-Azhar ketika itu, Jadul Haqq Ali Jadul Haqq, bersama ulama al-Azhar telah melarang peredaran buku karya aktivis Al-Ikhwan al-Muslimun (media menyebut Ikhwanul Muslimin) tersebut dan telah menerbitkan buku counter ideology yang berjudul Naqdlul Farîdhah al-Ghâ’ibah (Menolak Buku al-Faridhah al-Gha’ibah), ternyata main idea buku itu semakin laku dan laris manis di kalangan religious extremist yang gencar dalam melakukan kampanye Al-Jihâd al-Muftarâ (Manipulasi Jihad) dengan tujuan menggapai mimpi politik mereka dalam menciptakan Islamic State.
Buku penebar Virus Agama tanpa Cinta yang terbit pada 1981 tersebut memang mengajarkan strategi dan skala prioritas serangan. Strategi itu dikenal dengan jargon “Inna Qitâl al-Aduw al-Qarîb Aula min Qitâl Al-Aduw al-Ba’îd” (Memerangi Musuh yang Dekat itu Lebih Menjadi Prioritas daripada Memerangi Musuh yang Jauh). Alasan inilah yang menjadi pembenar para teroris untuk ”melibas” Ritz-Carlton dan JW Marriott yang dihuni para bule yang menurut fatwa gila Jalalabad pada 1998 juga merupakan target yang harus (fardlu ain) dibunuh.
Untuk menghadang dan menghajar ideologi kekerasan yang mendiaspora tersebut, penulis teringat sebuah kitab ketika masih ”nyantri” di Pesantren al-Atiq Kediri pada tahun 80-an berjudul Al-Asybâh wa An-Nazâ’ir karya penulis prolific Jalaluddin as-Suyuti. Dalam kitab itu ada sebuah kaidah yang berbunyi ”Al-Dharar La Yuzâlu bi Al-Dharar” (Sesuatu yang Membahayakan Tidak Boleh Dihilangkan dengan Menciptakan Bahaya yang Sama).
Berangkat dari kaidah tersebut, penulis memunculkan sebuah jargon baru yang berbunyi ”Al-Irhâb La Yuzâlu bil Irhâb” (Terorisme Jangan Dihajar dengan Menciptakan Teror yang Sama). Artinya, tindakan terorisme, khususnya di Indonesia, harus dihajar dengan Smart Operations, yaitu dengan mengampanyekan Islam damai dan dengan melumpuhkan landasan epistemologi (nazariyatul makrifah) mereka yang menurut tradisi keilmuan pesantren, teroris telah melakukan tasyisun nushus al-muqaddasah atau politisasi terhadap teks-teks suci keagamaan dan pemerkosaan, pencabikan, serta pengoyakan terhadap wilayah suci agama.
Pemerintah RI bisa melakukan jihad dalam menghajar terorisme itu dengan menciptakan badan Idelogical Surveillance (Pengawasan Ideologi) dan Ideological Forensic (Bedah Hukum Ideologi) untuk mencegah masuknya ideologi yang membahayakan NKRI dan Pancasila, termasuk pemerintah harus secepatnya melarang ideologi yang penuh dengan warna JI (Jamaah Islamiyah), apa pun namanya.
Jihad Menghajar Terorisme tersebut harus dilakukan pemerintah RI bersama komunitas bangsa Indonesia dengan melakukan ”4D”: deny, menolak semua ideologi kekerasan yang membahayakan keutuhan NKRI; defeat, menaklukkan serangan ideologi terorisme; diminish, meminimalisasi ruang gerak jejaring penebar teror dan para suporternya; dan terakhir defence, yaitu mempertahankan dan mendukung komunitas penebar ”damai untuk semua” dan penebar jargon ”jihad untuk hidup bersama dan bukan untuk mati bersama” yang diperkenalkan guru sekaligus sahabat penulis, Gamâl al-Bannâ.
*artikel ini pernah dimuat Jawa Pos (18/09/2009)