Oleh Arif Fathur Rohman
Pengurus Pondok Pesantren Futuhiyyah
Siapa yang tak kenal dengan Khalifah Harun al-Rasyid. Beliau adalah salah satu khalifah terbaik dalam sejarah Daulah Dinasti Abbasiyyah. Di bawah kepemimpinan beliau Islam ketika itu mencapai masa keemasannya (The Golden Age of Islam). Bahkan, kota Baghdad menjadi salah satu pusat ilmu pengetahuan dunia karena di kota tersebut berdiri sebuah lembaga penelitian bernama “Baitul Hikmah”.
Di balik kesuksesannya sebagai pemimpin, Harun al-Rasyid adalah khalifah yang cinta kepada ulama dan gemar bersedekah. Beberapa riwayat mengatakan setiap tahun hampir ratusan ulama beserta anak-anaknya ia berangkatkan haji ke Makah dan sekitar 1000 dirham ia keluarkan tiap tahun untuk membantu rakyat yang tak mampu.
Tak ada gading yang tak retak, sesukses dan sesaleh apapun seorang pemimpin pasti memiliki sisi kebijakan maupun karakter yang tak sesuai dengan hati rakyatnya. Ibarat kata, raja tetaplah raja, sekalipun ia adalah orang yang saleh pekertinya tetap saja ketika bertemu rakyat ia harus duduk di atas singgasana sedangkan rakyat harus bersimpuh di bawahnya.
Suatu hari, ketika Khalifah Harun al-Rasyid sedang tawaf di Kakbah datang seorang pemuda mendekatinya. Tanpa basa-basi pemuda tersebut membuka pembicaraan dengan Sang Khalifah. Ia berkata, “Ya Amiral Mu’minin, aku adalah salah satu rakyatmu. Aku datang menemuimu untuk membicarakan suatu hal, yang akan aku katakan kepadamu ini adalah suatu nasihat dan aku harap engkau akan mendengarkan nasihatku ini. Tapi agaknya nasihatku ini akan sedikit kasar (ekstrem).”
Mendengar ucapan pemuda tersebut, Harun al-Rasyid marah. Bahkan Sang Khalifah hampir mengusir pemuda tersebut. Beliau berkata, “Uskut Ya Jahil! (diam kamu bodoh!), tak sepantasnya engkau berkata demikian kepadaku.”
Kemudian khalifah kembali berkata,
“Sungguh Allah pernah mengutus hamba yang lebih baik dari engkau (Musa as), kepada manusia yang lebih hina daripada aku (Fira’un).”
Tapi Allah masih menyuruh Musa as berdakwah kepada Fir’aun dengan ucapan yang lembut. Kemudian Khalifah mengutip ayat al-Qur’an surat Thaha ayat 44;
فَقُولَا لَهُۥ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُۥ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ
“Maka berbicaralah kamu berdua (Musa & Harun) kepadanya (Fira’un) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.”
Belum sempat meneruskan pembicaraannya, pemuda tersebut lantas pergi meninggalkan Sang Khalifah. Ia tampak malu dan takut, ia tak menyangka bahwa Khalifah Harun al-Rasyid yang akan ia beri nasihat adalah sosok yang alim dan bijaksana.
Kisah ini pertama kali saya dengar dari ceramah Gus Baha (KH. Bahaudin Nur Salim) di Youtube. Dalam ceramah tersebut beliau menisbatkan kisah ini kepada Raja Harun al-Rasyid. Tapi sebelum mendengar ceramah Gus Baha, saya pernah mendengar cerita yang sama tapi dengan versi yang berbeda. Di versi lain yang pernah saya dengar, tokoh dari cerita tersebut adalah Khalifah al-Ma’mun. Beliau al-Ma’mun adalah putra dari Harun al-Rasyid, yang menjadi penerus Dinasti Abbasiyyah setelah Harun al-Rasyid wafat.
Kemudian penulis tertarik untuk mencari referensi dari mana kisah ini diambil, dari penelusuran yang penulis lakukan, ternyata kisah ini memang memiliki dua versi tokoh. Salah satunya terdapat di dalam kitab al-Bidayah wa al-Nihayah atau yang sering disebut dengan kitab Tarikh Ibnu Katsir karangan Isma’il bin Umar bin Katsir al-Dimasqi (Ibnu Katsir). Dalam kitab ini, Ibnu Katsir menisbatkan kisah tersebut kepada Harun al-Rasyid. Aidh al-Qarni dalam bukunya Durus li A’idh al-Qarni juga menuliskan nama Harun al-Rasyid dalam kisah tersebut.
Sedangkan untuk cerita versi al-Ma’mun dapat ditemui di kitab Iiqaadh Uli al-Himam al-A’liyah karangan Abdul Aziz al-Muhammadi dan kitab Sarh al-Thariqah al-Muhammadiyyah karya Muhammad bin Musthafa al-Khadimi.
Dari kisah di atas kita bisa mengambil hikmah dan pelajaran hidup. Islam mengajarkan untuk selalu menjaga adab/akhlak ketika berbicara dengan orang lain. Apalagi jika lawan bicara kita adalah pemimpin kita sendiri. Di zaman yang serba modern ini, bukan tak mungkin kita bisa berbicara “langsung” dengan pemimpin (Presiden, Menteri, Gubernur, dsb) melalui media sosial yang kita miliki sebut saja Fb, Instagram, twitter.
Boleh saja kita mengkritik kebijakan pemimpin yang tidak sesuai dengan pendapat kita, tapi sesuai yang diajarkan oleh al-Quran; “Fa qụlā lahụ qaulal layyinal” (maka ucapkanlah kepadanya dengan perkataan yang lembut). Jangan sampai kritik yang kita sampaikan dengan memuat perkataan yang tidak baik, apalagi dengan ucapan yang kasar atau bahkan sampai mencaci-maki. Nauzdu billahi tsumma naudzu billah.